B
|
aru-baru
ini setelah saya memasuki tatanan dunia baru dalam kehidupan aktivist, saya
mendapatkan berbagai kebudayaan baru, yang sebelumnya tidak saya temukan. Dalam
tatanan dunia baru ala aktivist ini banyak sekali mempengaruhi pemikiran,
ucapan/pola komunikasi, tindakan dan taqrir pun sudah berbeda. Kenapa bisa
demikian? Dapat kita lihat secara kongkrit dan nyata di depan mata, dunia baru
yang saya tekuni dan pelajari dalam dunia mahasiswa yang telah saya masuki,
memberikan hal ihwal yang justru berbeda dari dunia mahasiswa lain, berat
memang untuk mempertanggung jawabkannya.
Identitas “Mahasiswa” yang saya emban saat ini sungguh memberikan
pola perilaku yang aneh jika hanya dikonsumsi mentah-mentah, akan lebih aneh
lagi jika kita mengemban identitas tersebut hanya sebagai identitas untuk
mendapatkan pengakuan lebih dari masyarakat lingkungan sekitar. Sudut pandang
masysarakat awam melihat para mahasiswa adalah seseorang terpelajar berbudi
luhur serta pemikirannya sangatlah diperhitungkan, dan tentunya akan menjadi
berharga nilai keilmuannya untuk dipakai kala masyarakat membutuhkannya. Justru
tidak berbanding lurus dengan apa yang diharapkan masyarakat terhadap mahasiswa
itu sendiri, karena setelah melakukan survei, dari sebagian besar mahasiswa
yang terdapat di perguruan tinggi yang saya diami masih 80% mahasiswa belum
memahami peran dan fungsi mahasiswa. Sedangkan 25% mahasiswa mengerti peran dan
fungsi mahasiswa, dan sisanya sangat miris sekali, hanya 5% mahasiswa yang
paham peran dan fungsi mahasiswa juga menjalankan tridharma perguruan tinggi,
yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian.
Akan lebih salah lagi jika pemikiran mahasiswa yang dilucuti oleh
kebijakan pemangku kebijakan kampus, dengan cara membungkam suara mahasiswa
yang hendak mengkritisi sesuatu yang mungkar. Justru jika kita melihat dari
sudut pandang yang berbeda, mahasiswa memang selalu salah, akan lebih salah
lagi jika tidak pernah mau melakukan kesalahan demi perubahan. Kampus saya
memang terletak di perkampungan, akan paling salah jika pemikiran mahasiswanya
pun kampungan, sedangkan kata “mahasiswa” memiliki arti dan makna yang lebih
luas (Universal) dari peran dan fungsinya sebagai agent of change, social
control, moral force, graduate of value.
Terdapat suatu wadah yang saya sendiri terlibat di dalamnya yang
berfikir berbeda, akan tetapi wadah-wadah yang lainnya pun juga berfikir
berbeda dalam memahami peran dan fungsi mahasiswa. Selain perilaku yang aneh,
pemikiran yang aneh, juga pakaian serta gayanya pun aneh. Dari berbagai keanehan
tersebut dan saya pun terlibat dalam keanehannya, yang dimulai dari pakian yang
compang camping (Kaos dan Celana Bolong), kemudian gaya rambut (Hair style)
gondrong, sudah menjadi ciri khas seorang mahasiswa yang disebut dengan
aktivist. Terdapat nilai-nilai tersendiri yang ada dalam keanehan gaya
tersebut, mulai dari pemikiran dan pola komunikasi yang cenderung lebih bijak
dan jauh.
Justru tidak demikian, jika melihat fakta dalam kontek kekinian,
mahasiswa yang berlagak dan bergaya rambut metal (gondrong) dengan fashion
levis bolong lutut seolah menggambarkan radikalnya gaya seorang mahasiswa
tersebut, benar halnya jika rambut gondrong serta celananya bolong secara
dedikasi dapat berjalan lurus dengan mulus. Sebaliknya, sekarang hanya terdapat
mahasiswa yang berambut metal (gondrong) dan celananya bolong tidak berbanding
lurus dengan kegondrongan ilmu dan pengetahuannya, kemudian celana bolong yang
menggambarkan anarkisme serta radikalnya, itupun tidak berbanding lurus dengan
radikalnya pamikiran mahasiswa bercelana bolong, sehingga sekalipun para
pimpinan kampus serta antek-antek pemangku kebijakannya melakukan perilaku yang
tidak sesuai dengan khittah perjuangan serta tidak mengamalkan amanat
undang-undang dikti pun tidak diperhatikan, karena saking sibuknya mengurus
rambut gondrong agar selalu terlihat dan diperhatikan oleh semua orang yang
melihat.
Rektorat yang diduga melakukan tindak pidana Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme atau yang disebut dengan KKN, begitu hebatnya sekarang. Sehingga yang
melakukan KKN bukan hanya mahasiswa Semester Tujuh, barang kali pihak rektorat
yang patut diduga melakukan KKN ini hendak menyaingi para mahasiswanya yang
tingkatan semester tujuh, untuk berjuang dalam Strata Satu (S1). Jika sekelas
rektorat hendak menyaingi dengan semester tujuh, maka dapat dipastikan
pemikirannya sama dengan Mahasiswanya tingkat semester tujuh yang menempuh S1,
sebetulnya pemikirannya yang sama dengan mahasiswa atau gelar dan pangkatnya
saja yang sama dengan mahasiswa. Sangat tidak dibenarkan apabila amanat
undang-undang tidak dijalankan, sedangkan UU No.20/2001 mengamanatkan untuk
dilaksanakan, bukankah akan lebih nyaman lagi para mahasiswa yang menuntut ilmu
mendapatkan ilmu dari para dosen yang mumpuni di bidangnya, memenuhi kualifikasi
UU, dan tentunya sara dan prasana yang berbanding lurus dengan biaya yang
dikeluarkan. Kampus yang secara substansial merupakan wahana menuntut ilmu dan
menambah pengetahuan, tentunya bukan seperti pasar yang sibuk dengan transaksi
jual beli, terlepas jual beli sayur-sayuran, buah-buahan, Ijazah, SKRIPSI, dan
lain sebagainya.
Semoga mahasiswa berambut
metal (Gondrong) dan bercelana bolong dapat melek untuk melihat kemungkaran,
sebagaimana Sunah Rasul untuk mencegah kemungkaran “Barang siapa yang melihat
kemungkaran, maka cegahlah dengan tanganmu,.......” HR. Bukhori Muslim.
sangat tidak disalahkan ketika mahasiswa yang berambut metal (gondrong) dan
celana bolong menafsirkan kata “Dengan Tanganmu” yaitu mengkritisi
kampusnya hanya dengan melalui goresan tinta tak bermakna.
Berbahagialah dengan damainya kampus dalam ranah yang membuat
kenyamanan dalam menuntut ilmu, dan legowo menerima ilmu dari dosen yang
mumpuni di bidangnya, tentunya dalam ruang dan waktu yang bersih dari KKN. Mari
Berdzikir, Berfikir dan beramal soleh untuk menjadi pemikir pejuang yang
memperjuangkan pemikiran untuk meyakinkan keimanan dalam Berusaha dengan
keilmuan untuk sampai pada pengamalan seperti halnya Tridharma Perguruan
Tinggi.(**ATH)

Komentar
Posting Komentar