PERILAKU ORTODOKS MAHASISWA

Kopi perjuangan yang nikmat akan terasa lebih nikmat apabila kita memperjuangkan kenikmatan kopi, terlebih lagi jika kopi yang bersanding dengan sebatang kretek Dji Sam Soe, mantap sudah itu.


T
opik mahasiswa tak ada habis-habisnya untuk kita bicarakan, karena memang, mahasiswa bukan sekedar orang yang sedang belajar pada perguruan tinggi. Justru menjadi berbeda dalam konteks mahasiswa yang menjadi subjek perubahan, terlihat secara tata kerja kemanusiaan yang kongkrit, tindak tanduk yang lugas dan lebih dominan berangkat dari keresahan.

Banyak sekali hal yang menarik ketika kita membahas kemahasiswaan, mulai dari gaya (style) yang berkonotasi pada pengaturan kostum, dan perangkat penunjang diri dalam menempuh pencarian perhatian. Kemudian, dari pola ucapan yang begitu melangit secara teoritis, retoris, dan argumentatis. Kemudian dari beberapa pendekatan mencari ruang aspirasi dalam pemikiran, ideologi dan persepsi, adalah mungkin dan menjadi komoditi bagi setiap orang yang memiliki label atau identitas mahasiswa.

Akan berbeda cerita apabila mahasiswa memiliki stigma universal, dan dari universalitasnya mampu memproduksi berbagai hasil pemikiran yang begitu relevan dengan konteks kekinian, tentunya dapat diterapkan secara langsung dan berkala. Berbagai cerita dalam dunia mahasiswa,, karena kosmologi mahasiswa bukan hanya persoalan antara mahasiswa dengan kampusnya, mahasiswa dengan mahasiswa lainnnya, mahasiswa dengan organisasinya, mahasiswa dengan masyarakat, bahkan mahasiswa dengan tuhannya. Apabila pembahasan mahasiswa tentu tidak akan lepas dari perangkatnya, diantaranya adalah buku, retorika, produk pemikiran, juga kerja kemanusiaan.

Mediator yang menyampaikan objek kongkrit dari produk pemikiran adalah termanifestasikan pada kerja kemanusiaan, melejitnya nama baik karena banyaknya bukti nyata kerja kemanusiaan, tentu menjadi dampak yang positif jika seorang mahasiswa memiliki kerja kemanusiaan yang betul-betul nyata dalam hal pendidikan, penelitian, pengabdiannya yang apabila dilihat relevansinya dengan tridharma perguruan tinggi sangat nyata dan kongkrit.

Akan kita kupas satu persatu hubungan antara mahasiswa dengan objeknya, jika dilihat dalam konteks mahasiswa dengan kampusnya, maka upaya kesadaran sebagai subjek pembangunan bagi kampusnya sudah seharusnya terpatri di dalam jiwanya, berbagai metodologi dan pendekatan barangkali sudah menjadi keniscayaan, terlebih sebagai pimpinan organisasi intra kampus misalnya BEM-U/Presma, apabila kita lihat secara struktural, begitu lekatnya nilai dan ghirah terkait hal ihwal upaya pembangunan kampus. jika tidak demikian, jangan salahkan ada yang berasumsi bahwa BEM-U/Presma hanya menjadi subjek kebokbrokan pengembangan kampus, biasanya disebut sebagai Ulet Pete atau Hileud Peuteuy (Sunda). Sedangkan kegiatan kemanusiaan dalam upaya pembangunan kampus tidak mendapatkan nilai yang lebih tinggi dari angka nol.

Kemudian, mahasiswa dengan mahasiswa lainnya, dalam analogi agama hematnya Hablum minannaas (hubungan manusia dengan manusia). Adalah harga mati untuk saling berbaur, untuk saling bahu-membahu dalam upaya pengembangan dan pembangunan kampus yang kaya akan literasi, kaya akan kegiatan dan pola komunikasi, tentu selalu dibaluti dengan rasa empati antar sesama mahasiswa dengan mahasiswa lainnya.

Poin selanjutnya adalah mahasiswa dengan organisasinya, mahasiswa awam barangkali menilai setiap mahasiswa yang terlibat di dalam organisasi cenderung memberikan tendensi nasionalis, dan lebih anarkis, yang padahal tidak demikian. Tidak begitu terbenarkan statement demikian apabila hanya berimplikasi pada kontestasi politik semata, juga dalam polarisasi perkaderan organisasinya. Berbagai pendekatan yang cukup memberikan perubahan signifikan terhadap organisasi yang menaunginya, bahkan menunjang pola pemikiran dan pola pergerakan dalam kampusnya.

Nah, dalam hubungan antara mahasiswa dengan masyarakat, merupakan pembuktian kewibawaan pemikiran, tindakan, dan kerja kemanusiaan yang harus nampak dan betul-betul berarti juga berpengaruh. Jika kita lihat peran dan fungsi mahasiswa, tentu kita akan menemukan istilah agent of social control (kontrol sosial/kepekaan sosial), dalam hal ini mahasiswa pasti dituntut mempertanggung jawabkkan secara lebih guna memenuhi tuntutan masyarakat dan menjawab tantangan zaman, masyarakat adalah media evaluasi bagi setiap mahasiswa dalam wadah dan wilayah aktualisasi serta manisfestasi keilmuannya, maka apabila masyarakat sudah merasa terlengkapi akan kehadiran mahasiswa, jangan tanyakan nilai kita, sudah barang tentu nilai positif akan menghampiri.

Yang terakhir adalah mahasiswa dengan Tuhannya, ini adalah pembahasan yang paling esensial dalam ranah kemahasiswaan, karena korelasi antara metafisika yang imanental dengan sesuatu yang transendental di luar akal nalar manusia. Selain pertanggung jawaban kita terhadap masyarakat, maka tidak kalah penting dari sesuatu yang paling penting dalam hal hubungan antara mahasiswa dengan Tuhannya. Selain dalam bentuk peribadahan sakral dengan aturan main yang final, terdapat kosmologi mahasiswa yang mandul akan kesadaran diri bahwa peran ghaib dalam do’a sangat berpengaruh, baik dalam hal pemikiran, argumentasi, juga tindakan dan upaya dalam pembangunan keumatan dan kebangsaan demi terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.

Demikian tulisan sederhana yang tidak memiliki makna yang perlu dihayati, tidak memiliki substansi yang perlu dipikirkan, juga tidak memiliki tujuan yang perlu kerja kemanusiaan yang nyata. Dari tulisan ini kemudian menjadi spesifikasi yang sederhana, yaitu tugas mahasiswa hanya meyakini tidakannya dengan usaha yang betul dan sungguh untuk mencapai tujuan yang seharusnya dicapai dengan hasil yang maksimal. Dengan mengucap Alhamdulillahirobbil ‘alamin, juga satu harapan besar semoga semua mahasiswa dapat tersadarkan akan peran dan fungsinya. (**ATH)

Komentar