I. Dasar-dasar
Kepercayaan
Manusia
memerlukan satu bentuk kepercayaan. Kepercayan itu akan melahirkan tata nilai
guna menopang hidup budayanya. Sikap tanpa percaya atau ragu yang sempurna
tidak mungkin dapat terjadi. Tetapi selain kepercayaan itu dianut karena
kebutuhan dalam waktu yang sama juga harus merupakan kebenaran. Demikian pula
cara berkepercayan harus pula benar. Menganut kepercayaan yang salah atau dengan
cara yang salah bukan saja tidak dikehendaki, akan tetapi bahkan berbahaya.
Disebabkan
kepercayaan itu diperlukan, maka dalam kenyataan kita temui bentuk-bentuk
kepercayaan yang beraneka ragam di kalangan masyarakat. Karena bentuk-bentuk
kepercayaan itu berbeda satu dengan yang lainnya, maka sudah tentu ada dua
kemungkinan: kesemuanya itu salah atau salah satu saja di antaranya yang benar.
Disamping itu masing-masing bentuk kepercayaan mungkin mengandung unsur-unsur
kebenaran dan kepalsuan yang campur baur.
Sekalipun
demikian kenyataan menunjukkan bahwa kepercayaan itu melahirkan nilai-nilai.
Nilai-nilai itu kemudian melembaga dalam tradisi-tradisi yang diwariskan
turun-temurun dan mengikat anggota masyarakat yang mendukungnya. Karena
kecenderungan tradisi untuk tetap mempertahankan diri terhadap kemungkinan
perubahan nilai-nilai, maka dalam kenyataan ikatan-ikatan tradisi sering
menjadi penghambat perkembangan peradaban dan kemajuan manusia. Di sinilah
terdapat kontradiksi kepercayaan diperlukan sebagi sumber tata nilai guna
menopang peradaban manuisia, tetapi nilai-nilai itu melembaga dalam
tradisi yang membeku dan mengikat, maka justru merugikan peradaban.
Oleh
karena itu, pada dasarnya, guna perkembangan peradaban dan kemajuannya, manusia
harus selalu beersedia meninggalkan setiap bentuk kepercayaan dan tata nilai
yang tradisional, dan menganut kepercayaan yang sungguh-sungguh merupakan
kebenaran. Maka satu-satunya sumber dan pangkal nilai itu haruslah kebenaran
itu sendiri. Kebenaran merupakan asal dan tujuan segala kenyataan. Kebenaran
yang mutlak adalah Tuhan Allah.
Perumusan kalimat persaksian
(Syahadat) Islam yang kesatu: Tidak ada Tuhan selain Allah mengandung gabungan
antara peniadaan dan pengecualian. Perkataan “tidak ada Tuhan”, meniadakan
segala bentuk kepercayaan, sedangkan perkataan “selain Allah”, memperkecualikan
kepercayaan kepada satu kebenaran. Dengan peniadaan itu, dimaksudkan agar manusia membebaskan dirinya dari belenggu segenap
kepercayaan yang ada dengan segala akibatnya, dan dengan pengecualian itu
dimaksudkan agar manusia hanya tunduk pada ukuran kebenaran dalam menetapkan
dan memilih nilai-nilai, itu berarti tunduk kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta segala yang ada
termasuk manusia. Tunduk dan pasrah itu disebut Islam.
Tuhan itu
ada, dan ada secara mutlak hanyalah Tuhan. Pendekatan ke arah
pengetahuan akan adanya Tuhan dapat ditempuh manusia dengan berbagai jalan, baik
bersifat intuitif, ilmiah, historis, pengalaman dan lain-lain. Tetapi
karena kemutlakan Tuhan dan kenisbian manusia, maka
manusia tidak dapat menjangkau sendiri kepada pengertian akan hakekat Tuhan yangsebenarnya. Namun demi kelengkapan
kepercayaan kepada Tuhan, manusia memerlukan pengetahuan secukupnya tentang
Ketuhanan dan tata nilai yang bersumber kepada-Nya.
Oleh sebab itu diperlukan sesuatu yang lain lebih tinggi namun tidak bertentangan dengan insting
dan indera.
Sesuatu
yang diperlukan itu adalah “Wahyu” yaitu pengajaran atau
pemberitahuan yang langsung dari Tuhan sendiri Kepada manusia. Tetapi
sebagimana kemampuan menerima pengetahuan sampai ke tingkat yang
tertinggi tidak dimiliki oleh setiap orang, demikian juga wahyu
tidak diberikan kepada setiap orang. Wahyu itu diberikan kepada manusia tertentu yang memenuhi
syarat yang dan dipilih oleh Tuhan sendiri yaitu para Nabi dan Rasul atau utusan Tuhan. Dengan kewajiban
para rasul itu untuk menyampaikannya kepada seluruh umatmanusia. Para Rasul dan Nabi
itu telah lewat dalam sejarah semenjak Adam, Nuh, Ibrahim, Musa
dan Isa atau Yesus anak Maryam sampai pada Muhammad SAW. Muhammad adalah Rasul
penghabisan, jadi tiada Rasul lagi sesudahnya. Jadi para Nabi dan Rasul itu adalah
manusia biasa dengan kelebihan bahwa mereka menerima wahyu dari
Tuhan.
Wahyu
Tuhan yang diberikan kepada Muhammad SAW terkumpul seluruhnya dalam kitab suci
al-Quran. Selain berarti “bacaan”, kata al-Quran juga berarti “kumpulan” atau kompilasi dari segala
keterangan. Sekalipun garis-garis besar, al-Quran merupakan suatu kompendium, yang
singkat namun mengandung keterangan-keterangan tentang segala sesuatu sejak dari
sekitar alam dan manusia sampai pada hal-hal ghaib yang tidak mungkin diketahui
manusia dengan cara lain (al-Nahl [16]: 89).
Jadi untuk memahami Ketuhanan
Yang Maha Esa dan ajaran-ajaran-Nya, manusia harus berpegang pada al-Quran,
dengan terlebih dahulu mempercayai kerasulan Muhammad SAW. Maka kalimat kesaksian yang
kedua memuat esensi kedua dari kepercayaan yang harus dianut umat manusia,
yaitu bahwa Muhammad adalah Rasul Allah.
Kemudian di dalam al-Qur’an didapatkan keterangan
lebih lanjut tentang Ketuhanan Yang Maha Esa dan ajaran-ajaran-Nya yang merupakan garis-garis
besar jalan hidup yang mesti diikuti manusia. Tentang Tuhan antara lain: Surat
al-Ikhlash menerangkan secara singkat: “Katakanlah; Dia adalah
Tuhan Yang Maha Esa. Dia itu adalah
Tuhan. Tuhan tempat menaruhsegala harapan.
Tiada Ia berputra dan tiada pula Ia berbapa.” (al-Ikhlash [112]: 1-4). Selanjutnya Ia adalah
Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Adil, Maha Bijaksana, Maha Kasih
dan Maha Sayang, Maha Pengampun
dan seterusnya dari segala sifat kesempurnaan yang layaknya bagi Yang Maha
Agung dan Maha Mulia, Tuhan seru sekalian alam.
Juga
diterangkan bahwa Tuhan adalah Yang Pertama dan Yang Penghabisan, Yang Lahir
dan Yang Bathin (al-Hadid [37]: 3), dan “Kemana pun manusia berpaling maka di sanalah wajah Tuhan”
(al-Baqarah [2]: 115). Dan “Dia itu bersama kamu dimana pun kamu berada”
(al-An’am[57]: 4). Jadi Tuhan tidak terikat dengan ruang dan waktu.
Sebagai “Yang Pertama dan Yang
Penghabisan”, maka sekaligus Tuhan adalah asal dan tujuan segala yang ada,
termasuk tata nilai. Artinya: sebagaimana tata nilai harus bersumber kepada
kebenaran dan berdasarkan kecintaan kepada-Nya, Ia pun sekaligus menuju kepada
kebenaran dan mengarah kepada “persetujuan” atau “ridla-Nya”. Inilah kesatuan antara asal
dan tujuan hidup yang sebenarnya (Tuhan sebagai tujuan hidup yang
benar diterangkan dalam bagian lain).
Tuhan
menciptakan alam raya ini dengan sebenarnya, dan mengaturnya dengan pasti
(al-An’am [6]: 73, al-Furqan [25]: 2). Oleh karena itu alam mempunyai eksistensi yang riil
dan objektif, serta berjalan mengikuti hukum-hukum yang tetap. Dan sebagai
ciptaan dari sebaik-baiknya penciptanya, maka alam mengandung
kebaikan pada dirinya dan teratur secara harmonis (al-Mu’minun [23]: 14). Nilai ciptaan ini untuk manusia bagi keperluan
perkembangan peradabannya (Lukman [31]: 20). Maka alam dapat dan
harus dijadikan objek penyelidikan guna dimengerti hukum-hukum Tuhan (sunnah Allah) yang
berlaku di dalamnya. Kemudian manusia memanfaatkan alam sesuai dengan
hukum-hukumnya sendiri (Yunus [10]: 101).
Jika
kenyataan alam ini berbeda dengan persangkaan idealisme maupun agama Hindu yang
mengatakan bahwa alam itu tidak mempunyai eksistensi riil dan obyektif, melainkan semua palsu
atau maya dan sekedar emanasi atau pancaran dunia lain yang kongkrit, yaitu
idea atau dari Nirwana (Shad [38]: 27). Juga tidak seperti dikatakan filsafat agnosticisme yang mengatakan bahwa alam tidak
mungkin dimengerti manusia. Dan sekalipun filsafat materialisme mengatakan
bahwa alam ini mempunyai eksistensi riil dan obyektif sehingga dapat
dimengerti oleh manusia, namun filsafat itu mengatakan bahwa alam ada dengan
sendirinya. Peniadaan Pencipta atau pun peniadaan Tuhan adalah satu sudut dari filsafatmaterialisme.
Manusia
adalah puncak ciptaan dan makhluk-Nya yang tertinggi... (al-Tien [95]: 4,
al-Isra’ [17]: 70). Sebagai makhluk tertinggi manusia
dijadikan “Khalifah” atau wakil Tuhan di bumi (al-An’am [6]: 165). Manusia ditumbuhkan
dari bumi dan diserahi untukmemakmurkannya (Hud [11]: 16). Maka urusan di dunia
telah diserahkan Tuhan kepada manusia. Manusia sepenuhnya bertanggung jawab
atas segala perbuatannya di dunia. Perbuatan manusia ini membentuk rentetan
peristiwa yang disebut sejarah. Dunia adalah wadah bagi sejarah, dimana manusia
menjadi pemilik atau “rajanya”
Sebenarnya
terdapat hukum-hukum Tuhan yang pasti (sunnah Allah) yang menguasai sejarah,
sebagaimana adanya hukum yang menguasai alam tetapi berbeda dengan alam yang
telah ada secara otomatis tunduk terhadap sunnatullah itu, manusia karena
kesadaran dan kemampuannya untuk mengadakan pilihan tidak terlalu tunduk kepada
sunnatullah itu, manusia karena kesadaran dan kemampuannya untuk mengadakan
pilihan tidak terlalu tunduk kepada hukum-hukum kehidupannya sendiri (al-Ahzab [33]: 72). Ketidakpatuhan itu
disebabkan karenasikap menentang atau kebodohannya. Hukum dasar alami dari segala yang ada
inilah “Perubahan dan perkembangan”, sebab: segala sesuatu ini adalah ciptaan Tuhan dan
pengembangan oleh-Nya dalam suatu proses yang tiada henti-hentinya (al-Ankabut [29]: 20). Segala sesuatu ini
berasal dari Tuhan dan menuju kepada Tuhan. Maka satu-satunya yang tak mengenal
perubahan hanyalah Tuhan sendiri, asal dan tujuan segala sesuatu (al-Qashas [28]: 88). Di dalam memenuhi tugas
sejarah, manusia harus berbuat sejalan dengan arus perkembangan itu menuju
kepada kebenaran. Hal itu berarti bahwa manusia harus selalu berorientasi
kepada kebenaran, dan untuk itu harus mengetahui jalan menuju kebenaran itu
(al-Isra [17]: 72). Dia tidak mesti selalu mewarisi begitu saja nilai-nilai tradisional
yang tidak diketahuinya dengan pasti akan kebenaranya (al-Isra [17]: 36).
Oleh karena itu hidup yang baik
adalah yang disemangati oleh iman dan diterangi olehilmu (Al Mujadalah [58]: 11). Bidang iman dan
pencabangannya menjadi wewenang wahyu, sedangkan bidang ilmu
pengetahuan menjadi wewenang manusia untuk mengusahakan dan mengumpulkannya
dalam kehidupan dunia ini. Ilmu itu meliputi tentang alam dan tentang manusia
(sejarah). Untuk memperoleh ilmu pengetahuan tentang nilai kebenaran sejauh mungkin,
manusia harus melihat alam dan kehidupan ini sebagaimana adanya tanpa
melekatkan kepadanya kualitas-kualitas yang bersifat ketuhanan. Sebab
sebagaimana diterangkan di muka, alam diciptakan dengan wujud yang nyata dan
objektif sebagaimana adanya. Alam tidak menyerupai Tuhan dan Tuhan pun
untuk sebagian atau seluruhnya tidak sama dengan alam. Sikap mempertuhankan dan
mensucikan (sakralisasi) haruslah ditujukan kepada Tuhan sendiri. Tuhan Allah Yang Maha Esa
(Fushilat [41]:37).
Ini disebut “Tauhid” dan lawannya disebut “Syirik”, artinya mengadakan tandingan
terhadap Tuhan, baik seluruhnya atau sebagian. Maka jelasnya bahwa syirik
menghalangi perkembangan dan kemajuan peradaban, kemanusiaan yang menuju
kebenaran.
Kesudahan sejarah atau kehidupan duniawi ini ialah hari kiamat. Kiamat
merupakan permulaan bentuk kehidupan yang tidak lagi bersifat sejarah atau
duniawi, yaitu kehidupan akhirat. Kiamat disebut juga “hari agama”, atau yaum al-din, dimana
Tuhan menjadi satu-satunya Pemilik dan Raja (Al-Fatihah [1]: 4,
al-Haj [22]: 56, al-Mukminun [40]: 16). Disitu tidak lagi terdapat kehidupan historis seperti kebebasan, usaha
dan tata masyarakat. Tetapi yang ada adalah
pertanggunganjawab individual manusia yang bersifat mutlak dihadapan Illahi atassegala perbuatannya dahulu di dalam
sejarah (al-Baqarah [2]: 48). Selanjutnya kiamat merupakan “Hari Agama”, maka
tidak ada yang mungkin kita ketahui selain dari yang diterangkan dalam wahyu.
Tentang hari kiamat dan kelanjutannya/kehidupan akhirat yang non historis manusia
hanya diharuskan percaya tanpa kemungkinan mengetahui kejadia-kejadian
(al-A’raf [7]: 187).
II. Pengertian-pengertian
Dasar Tentang Kemanusiaan
Telah
disebutkan dimuka, bahwa manusia adalah puncak ciptaan, merupakan makhluk yang
tertinggi dan adalah wakil dari Tuhan di bumi. Sesuatu yang
membuat manusia menjadi manusia bukan hanya beberapa sifat atau kegiatan yang
ada padanya, melainkan suatu keseluruhan susunan sebagai sifat-sifat dan
kegiatan-kegiatan yang khusus dimiliki manusia saja yaitu Fitrah. Fitrah
membuat manusia berkeinginan suci dan secara kodrati cenderung kepada kebenaran
(hanief) (al-Rum [30]:50).
“Dhamier” atau hati nurani adalah pemancar keinginan kepada kebaikan, kesucian
dan kebenaran. Tujuan hidup manusia ialah kebenaran yang mutlak atau kebenaran
yang terakhir, yaitu Tuhan Yang Maha Esa (al-Dzariyat [51]: 56).
Fitrah merupakan bentuk
keseluruhan tentang diri manusia yang secara asasi dan prinsipil membedakannya
dari makhluk-makhluk yang lain. Dengan memenuhi hati nurani, seseorang berada
dalam fitrahnya dan menjadi manusia sejati.
Kehidupan
dinyatakan dalam kerja atau amal perbuatannya (al-Taubah [19]: 105 dan al-Najm[53]: 39). Nilai-nilai tidak
dapat dikatakan hidup dan berarti sebelum menyatakan diri dalam
kegiatan-kegiatan amaliyah yang kongkrit (al-Shaf [61]: 2-3). Nilai hidup
manusia tergantung kepada nilai kerjanya. Di dalam dan melalui amal perbuatan yang
berperikemanusiaan (fitri sesuai dengan tuntutan hati nurani) manusia mengecap
kebahagiaan, dan sebaliknya di dalam dan melalui amal perbuatan yang
tidak berperikemanusiaan (jahat) ia menderita kepedihan (al-Nahl [16]:79 dan al-Nisa[4]:111).
Hidup yang penuh dan berarti ialah yang dijalani
dengan sungguh-sungguh dan sempurna, yang di dalamnya manusia dapat mewujudkan
dirinya dengan mengembangkan kecakapan-kecakapan dan memenuhi
keperluan-keperluannya. Manusia yang hidup berarti dan berharga ialah dia yang
merasakan kebahagiaan dan kenikmatan dalam kegiatan-kegiatan yang membawa
perubahan ke arah kemajuan-kemajuan baik yang mengenai alam maupun masyarakat
yaitu hidup berjuang dalam arti yang seluas-luasnya (al-Ankabut [29]: 6).
Dia
diliputi semangat mencari kebaikan, keindahan, dan kebenaran (al-Nisa [4]: 125). Dia menyerap
segala sesuatu yang baru dan berharga sesuai dengan perkembangan kemanusiaan
dan menyatakan dalam hidup berperadaban dan berkebudayaan (al-Zumar [39]:18). Dia adalah aktif, kreatif
dan kaya akan kebijaksanaan (wisdom,hikmah) (al-Baqarah[2]:269). Dia berpengalaman luas,
berfikir bebas, berpandangan lapang dan terbuka, bersedia mengikuti kebenaran
dari manapun datangnya (al-An’am [6]: 125). Dia adalah
manusia toleran dalam arti kata yang benar, penahan amarah dan pemaaf (Ali
Imran[3]:134). Keutamaan ini merupakan kekayaan kemanusiaan yang menjadi milik dari
pribadi-pribadi yang senantiasa berkembang dan selamanya tumbuh kearah yang
lebih baik.
Seorang
manusia sejati (insan kamil) ialah yang kegiatan mental dan phisikisnya
merupakan suatu keseluruhan. Kerja jasmani dan kerja rohani bukanlah dua
kenyataan yang terpisah. Malahan dia tidak mengenal perbedaan antara kerja dan
kesenangan, kerja baginya adalah kesenggangan dan kesenangan ada dalam dan
melalui kerja. Dia berkepribadian, merdeka, memiliki dirinya sendiri,
menyatakan ke luar corak perorangannya dan mengembangkan kepribadian dan
wataknya secara harmonis. Dia tidak mengenal perbedaan antara kehidupan
individual dan kehidupan komunal, tidak membedakan antara perorangan dan
sebagai anggota masyarakat. Hak dan kewajiban serta kegiatan-kegiatan untuk dirinya
adalah juga sekaligus untuk sesama umat manusia.
Baginya
tidak ada pembagian dua (dichotomy) antara kegiatan-kegiatan rohani dan jasmani,
pribadi dan masyarakat, agama dan politik ataupun dunia akhirat. Kesemuanya
dimanifestasikan dalam suatu kesatuan kerja yang tunggal pancaran niatnya,
yaitu mencari kebaikan, keindahan dan kebenaran (al-Bayyinah [98]:5).
Dia
adalah seorang yang ikhlas, artinya seluruh amal perbuatannya benar-benar
berasal dari dirinya sendiri dan merupakan pancaran langsung dari
kecenderungannya yang suci dan murni (al-Baqarah [2]: 207,
al-Insan [76]: 8-9). Suatu
pekerjaan dilakukan karena keyakinan akan nilai pekerjaan itu sendiri bagi
kebaikan dan kebenaran, bukan karena hendak memperoleh tujuan lain yang
nilainya lebih rendah (pamrih). Kerja yang ikhlas mengangkat nilai kemanusiaan
pelakunya dan memberikannya kebahagiaan (Fathir [35]: 10).
Hal itu akan menghilangkan sebab-sebab suatu jenis pekerjaan yang
ditinggalkan dan kerja amal akan menjadi kegiatan kemanusiaan paling berharga
(al-Baqarah [2]: 264). Keikhlasan adalah kunci kebahagiaan hidup manusia, tidak
ada kebahagiaan sejati tanpa keihlasan dan keikhlasan selalu menimbulkan
kebahagiaan.
Hidup
fitrah ialah bekerja secara ikhlas yang memancarkan dari hati nurani yang
hanief atau suci.
III. Kemerdekaan
Manusia (Ikhtiar) dan Keharusan Universal (Takdir)
Keikhlasan
yang insani itu tidak mungkin ada tanpa kemerdekaan.
Kemerdekaan dalam artikerja sukarela tanpa paksaan yang didorong oleh kemauan yang murni,
kemerdekaan dalam pengertian kebebasan memilih sehingga pekerjaan itu
benar-benar dilakukan sejalan dengan hati nurani. Keikhlasan merupakan
pernyataan kreatif kehidupan manusia yang berasal dari perkembangan tak
terkekang dari kemauan baik. Keikhlasan adalah gambaran terpenting dari kehidupan
manusia sejati. Kehidupan sekarang di dunia dan abadi (eksternal) berupa
kehidupan kelak sesudah mati di akhirat. Dalam aspek pertama manusia melakukan amal
perbuatan dengan baik dan buruk yang harus dipikul secara individual, dan
komunal sekaligus (al-Anfal [8]: 25). Sedangkan dalam aspek kedua manusia tidak lagi melakukan amal perbuatan,
melainkan hanya menerima akibat baik dan buruknya dari amalnya dahulu di dunia
secara individual. Di akhirat tidak terdapat pertanggungjawaban bersama tetapi
hanya ada pertanggungjawaban perseoranganyang mutlak (al-Baqarah
[2]: 48, Luqman [31] :33). Manusia dilahirkan
sebagai individu, hidup di tengah alam dan mensyarat sesamanya, kemudian
menjadi individu kembali.
Jadi
individualitas adalah pernyataan asasi yang pertama dan terakhir dari
kemanusiaan, serta letak kebenarannya dari nilai kemanusiaannya sendiri. Karena
individu adalah penanggungjawab terakhir dan mutlak dari awal perbuatannya,
maka kemerdekaan pribadi, adalah haknya yang pertama dan asasi.
Tetapi
individualitas hanyalah pernyataan yang asasi dan primer saja dari kemanusiaan.
Kenyataan lain, sekalipun bersifat sekunder ialah bahwa individu hidup dalam suatu
hubungan tertentu dengan dunia sekitarnya. Manusia hidup di tengah alam sebagai
makhluk sosial hidup di tengah sesama. Dari segi ini manusia adalah bagian dari
keseluruhan alam yang merupakan suatu kesatuan.
Oleh
karena itu kemerdekaan harus diciptakan untuk pribadi dalam konteks hidup di
tengah dan masyarakat. Sekalipun kemerdekaan adalah esensi dari
kemanusiaan tidak berarti bahwa manusia selalu dan dimana saja
merdeka. Adanya batas-batas dari kemerdekaan adalah suatu
kenyataan. Batas-batas tertentu itu dikarenakan adanya hukum-hukum yang pasti
dan tetap yang menguasai alam –hukum yang menguasai benda-benda maupun masyarakat
manusia sendiri–yang tidak tunduk dan tidak pula bergantung kepada kemauan manusia.
Hukum-hukum itu mengakibatkan adanya “keharusan universal” atau “kepastian
hukum” dan “takdir” (al-Hadid[57]: 22).
Jadi kalau kemerdekaan pribadi diwujudkan dalam
konteks hidup di tengah alam dan masyarakat dimana terdapat keharusan universal
yang tidak tertaklukkan, maka apakah bentuk hubungan yang harus dipunyai oleh
seseorang kepada dunia sekitarnya? Sudah tentu bukan hubungan penyerahan, sebab
penyerahan berarti peniadaan terhadap kemerdekaan itu sendiri.
Pengakuan akan adanya keharusan universal yang diartikan sebagai penyerahan
kepadanya sebelum suatu usaha dilakukan berarti perbudakan. Pengakuan akan
adanya kepastian umum atau takdir hanyalah pengakuan akan adanya batas-batas
kemerdekaan. Sebaliknya suatu persyaratan yang positif dari kemerdekaan adalah
pengetahuan tentang adanya kemungkinan-kemungkinan kreatif manusia. Yaitu
tempat bagi adanya usaha yang bebas dan dinamakan“ikhtiar” artinya pilihan merdeka.
Ikhtiar
adalah kegiatan kemerdekaan dari individu, juga berarti kegiatan dari manusia
merdeka. Ikhtiar merupakan usaha yang ditentukan sendiri dimana manusia berbuat
sebagai pribadi banyak segi yang integral dan bebas; dan dimana manusia tidak
diperbudak oleh suatu yang lain kecuali oleh keinginannya sendiri dan
kecintaannya kepada kebaikan. Tanpa adanya kesempatan untuk berbuat atau
berikhtiar, menusia menjadi tidak merdeka dan menjadi tidak bisa dimengerti
untuk memberikan pertanggungjawaban pribadi dari amal perbuatannya.Kegiatan
merdeka berarti perbuatan manusia yang merubah dunia dan dirinya sendiri
(al-Rad [13] : 11). Jadi sekalipun terdapat keharusan universal atau takdir namun manusia
dengan haknya untuk berikhtiar mempunyai peranan aktif dan menentukan bagi
dunia dan dirinya sendiri.
Manusia
tidak dapat berbicara mengenai takdir suatu kejadian sebelum itu menjadi
kenyataan. Maka percaya kepada takdir akan membawa keseimbangan jiwa tidak
terlalu berputus asa karena suatu kegagalan dan tidak pula terlalu membanggakan
diri karena suatu kemujuran. Sebab segala sesuatu tidak hanya terkandung pada
dirinya sendiri, melainkan juga kepada keharusan yang universal itu (al-Hadid [57]: 23).
IV. Ketuhanan Yang
Maha Esa dan Kemanusiaan
Telah
jelas bahwa hubungan yang benar antara individu manusia dengan dunia sekitarnya
bukan hubungan penyerahan. Sebab penyerahan meniadakan kemerdekaan dan
keikhlasan dan kemanusiaan. Tetapi jelas pula bahwa tujuan manusia hidup merdeka dengan segala kegiatannya
ialah kebenaran. Oleh karena itu sekalipun tidak tunduk pada suatu apapun dari
dunia sekelilingnya, namun manusia merdeka masih dan mesti tunduk pada
kebenaran. Karena menjadikan sesuatu sebagai tujuan adalah berarti pengabdian
kepada-Nya.
Jadi kebenaran-kebenaran
menjadi tujuan hidup. Dan apabila demikian maka sesuai dengan pembicaraan terdahulu maka tujuan
hidup yang terakhir dan mutlak ialah kebenaran yangterakhir dan mutlak sebagai
tujuan dan tempat menundukan diri. Adakah kebenaran terakhir dan mutlak itu?.
Ada, sebagaimana tujuan akhir dan mutlak dari hidup itu ada. Karena sikapnya
yang terakhir (ultimate) dan mutlak maka sudah pasti kebenaran itu hanya satu
secara mutlak pula.
Dalam
perbendaharaan bahasa dan kulturiil, kita sebut kebenaran mutlak
itu “Tuhan”. Kemudian sesuai dengan uraian Bab I, Tuhan itu menyatakan diri kepada
manusia sebagai Allah (Lukman [31]: 30). Karena kemutlakan-Nya,
Tuhan bukan saja tujuan segala kebenaran (Ali Imran [3]:60). Maka Dia adalah Yang
Maha Benar. Setiap pikiran Yang Maha Benar adalah pada hakekatnya pikiran
tentang Tuhan Yang Maha Esa.
Oleh sebab itu seorang manusia merdeka ialah yang
berketuhanan Yang Maha Esa, Keikhlasan tiada lain ialah kegiatan yang dilakukan
semata-mata bertujuan kepada Tuhan Yang Maha Esa., yaitu kebenaran mutlak, guna
memperoleh persetujuan atau “ridha” dari-Nya. Sebagaimana kemanusiaan terjadi
karena adanya kemerdekaan dan kemerdekaan ada karena adanya tujuan kepada Tuhan
semata-mata. Hal itu
berarti segala bentuk kegiatan hidup dilakukan hanyalah karena nilai kebenaran
itu yang terkandung di dalamnya guna mendapatkan persetujuan atau ridha
kebenaran mutlak. Dan hanya pekerjaan “karena Allah” itulah yang bakal
memberikan rewarding bagi kemanusiaan (al-Lail [92]: 19-21).
Kata “iman” berarti percaya dalam
hal ini percaya kepada Tuhan sebagai tujuan hidup yang mutlak dan tempat
pengabdian diri kepada-Nya. Sikap menyerahkan diri dan mengabdi kepada Tuhan
itu disebut Islam. Islam menjadi nama segenap ajaran pengabdian kepada Tuhan
Yang Maha Esa (Ali Imran [3]: 19). Pelakunya disebut “Muslim”. Tidak lagi diperbudak oleh
sesama manusia atau sesuatu yang lain dari dunia sekelilingnya, manusia muslim
adalah manusia yang merdeka yang menyerahkan diri kepada
Tuhan Yang Maha Esa (al-Ahdzab [33]: 49). Semangat tauhid
(memutuskan pengabdia hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa) menimbulkan kesatuan
tujuan hidup, kesatuan kepribadian dan kemasyarakatan. Kehidupan bertauhid
tidak lagi berat sebelah, parsial dan terbatas. Manusia bertauhid adalah manusia yangsejati dan sempurna yang
kesadaran akan dirinya tidak mengenal batas.
Dia
adalah pribadi manusia yang sifat perorangannya adalah dari keseluruhan (totalitas) duniakebudayaan dan peradaban. Dia
memiliki seluruh dunia ini dalam arti kata mengambil bagian sepenuh mungkin
dalam menciptakan dan menikmati kebaikan-kebaikan dan peradaban
kebudayaan.
Pembagian
kemanusiaan tidak selaras dengan dasar kesatuan kemanusiaan (human totality),
itu antara lain ialah pemisahan antara eksistensi ekonomi dan moral manusia,
antara kegiatan duniawi, antara tugas-tugas peradaban dan agama. Demikian pula
sebaliknya, anggapan bahwa manusia adalah tujuan pada dirinya membela
kemanusiaan seseorang menjadi: manusia sebagai pelaku kegiatan dan manusia
sebagai tujuan kegiatan. Kepribadian yang pecah berlawanan dengan kepribadian
kesatuan (human totality) yang homogen harmonis pada dirinya sendiri: jadi
berlawanan dengan kemanusiaan.
Oleh karena hakekat hidup adalah amal perbuatan atau kerja, maka
nilai-nilai tidak dapat dikatakan ada sebelum menyatakan diri dalam
kegiatan-kegiatan konkrit dan nyata (al-Syu’ara [26]: 226). Kecintaan kepada
Tuhan sebagai kebaikan, keindahan dan kebenaran yang mutlak dengan sendirinya
memancar dalam kehidupan sehari-hari dalam hubungannya dengan alam dan
masyarakat, berupa usaha-usaha yang nyata guna menciptakan sesuatu yang membawa
kebaikan, keindahan dan kebenaran bagi sesama manusia “amal saleh” (harfiah;
pekerjaan yang selaras dalam hal ini selaras dengan kemanusiaan) merupakan pancaran
langsung dari iman (lihat al-Qur’an: ..aamanu wa
a’aamilus shaalihaat, tidak kurang dari 50 pengulangan kombinasi kata). Jadi ketuhanan Yang Maha
Esa memancar dalam prikemanusiaan. Sebaliknya karena kemanusiaan adalah kelanjutan kecintaan kepada
kebenaran maka tidak ada prikemanusiaan tanpa Ketuhanan Yang Maha Esa.
Prikemanusiaan tanpa Ketuhanan adalah tidak sejati (an-Nur [24]: 39). Oleh karena itu
semangat Ketuhanan Yang Maha Esa dan semangat mencari ridha dari-Nya adalah dasar
peradaban yang benar dan kokoh. Dasar selain itu pasti goyah dan akhirnya
membawa keruntuhan peradaban (al-Baraah [9]: 109).
“Syirik” merupakan kebalikan dari tauhid, secara harfiah artinya mengadakan
tandingan, dalam hal ini kepada Tuhan. Syirik adalah sifat menyerah dan
menghambakan diri kepada sesuatu selain kebenaran baik kepada sesama manusia
maupun alam. Karena sifatnya yang meniadakan kemerdekaan asasi, syirik
merupakan kejahatan terbesar kepada kemanusiaan (Lukman [31]: 13). Pada hakikatnya segala bentuk kejahatan
dilakukan orang karena syirik (al-An’am [6]: 82). Sebab dalam melakukan
kejahatan itu dia menghambakan diri kepada motifyang mendorong dilakukannya
kejahatan tersebut yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kebenaran. Demikian
pula karena syirik seseorang mengadakan pamrih atas pekerjaan yang
dilakukannya. (Hadis: “sesungguhnya sesuatu yang paling aku
khawatirkan menimpa kamu sekalian adalah syirik kecil,yaitu riya, pamrih”
(Rawahu Amad, hadis hasan)Dia bekerja bukan karena nilai pekerjaan itu sendiri dalam hubungannya
dengan kebaikan, keindahan dan kebenaran, tetapi karena hendak memperoleh
sesuatu yang lain.
“Musyrik” adalah pelaku dari syirik. Seseorang yang menghambakan diri
kepada selain Tuhan baik manusia maupun alam disebut musyrik, sebab dia
mengangkat sesuatu selain Tuhan menjadi setingkat dengan Tuhan(Ali
Imran[3]:64). Demikian pula seseorang
yang menghambakan (sebagaimana dengan tiran atau diktator) adalah musyrik,
sebab dia mengangkat dirinya sendiri setingkat dengan Tuhan (al-Qashash
[28]: 4). Kedua pelaku itu merupakan
pemnentang terhadap kemanusiaan, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang
lain.
Maka sikap berkemanusiaan adalah sikap yang adil,
yaitu sikap menempatkan sesuatu kepada tempatnya yang wajar, seseorang yang
adil (wajar) ialah yang memandang manusia tidak melebihkan sehingga
menghambakan dirinya kepada-Nya. Dia selalu menyimpan i’tikad baik dan lebih baik
(ihsan).Maka Ketuhanan menimbulkan sikap yang adil dan baik kepada manusia
(al-Nahl [16]:90).
V. Individu dan Masyarakat
Telah
diterangkan dimuka, bahwa pusat kemanusiaan adalah masing-masing pribadinya dan
bahwa kemerdekaan pribadi adalah hak asasinya yang pertama. Tidak ada sesuatu
yang lebih berharga dari kemerdekaan itu. Juga telah dikemukakan bahwa manusia
hidup dalam suatu bentuk hubungan tertentu dengan dunia sekitarnya, sebagai
makhluk sosial, manusia tidak mungkin memenuhi kebutuhan kemanusiaannya dengan
baik tanpa berada ditengah sesamanya dalam bentuk-bentuk hubungan tertentu.
Maka
dalam masyarakat itulah kemerdekan asasi diwujudkan. Justru karena adanya
kemerdekaan pribadi itu maka timbul perbedaan-perbedan antara suatu pribadi
dengan lainnya (al-Zuhruf [43]: 32). Sebenarnya perbedaan-perbedaan itu adalah untuk
kebaikannya sendiri, sebab kenyataan yang penting dan prinsipil, ialah bahwa
kehidupan ekonomi, sosial dan kultural menghendaki pembagian kerja yang
berbeda-beda (Al-Maidah [5]: 48).
Pemenuhan
suatu bidang kegiatan guna kepentingan masyarakat adalah suatu keharusan,
sekalipun hanya oleh sebagian anggotanya (al-Lail [92]: 4). Namun sejalan dengan
prinsip kemanusiaan dan kemerdekaan, dalam kehidupan yang teratur tiap-tiap
orang harus diberi kesempatan untuk memilih dari
beberapa kemungkinan dan untuk berpindah dari satu lingkungan ke lingkungan
lainnya (al-Isra [17]: 84, al-Zummar [39]: 39). Peningkatan kemanusian tidak
dapat terjadi tanpa memberikan kepada setiap orang keluasan untuk mengembangkan
kecakapannya melalui aktifitas dan kerja yang sesuai dengan kecenderungannya
dan bakatnya.
Namun inilah kontradiksi yang ada pada manusia dia
adalah makhluk yang sempurna dengan kecerdasan dan kemerdekaannya dapat berbuat
baik kepada sesamanya, tetapi pada waktu yang sama ia merasakan adanya
pertentangan yang konstan dan keinginan tak terbatas sebagai hawa nafsu. Hawa nafsu cenderung ke arah
merugikan orang lain (kejahatan) dan kejahatan dilakukan orang karena mengikuti
hawa nafsu (Yusuf [12]: 53 dan Rum [30] : 29).
Ancaman atas kemerdekaan masyarakat, dan karena itu
juga berarti ancaman terhadap kemerdekaan pribadi anggotanya ialah keinginan
tak terbatas atau hawa nafsu tersebut, maka selain kemerdekaan, persamaan
antara hak sesama manusia adalah esensi kemanusiaan yang harus ditegakkan.
Realisasi persamaan dicapai dengan membatasi kemerdekaan. Kemerdekaan tak
terbatas hanya dipunyai satu orang, sedangkan untuk lebih satu orang
kemerdekaan tak terbatas tidak dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan,
kemerdekaan seseorang dibatasi oleh kemerdekaan orang lain. Pelaksanaan
kemerdekaan tak terbatas hanya berarti pemberian kemerdekaan kepada pihak yang
kuat atas pihak yang lemah (perbudakan dalam segala bentuknya), sudah tentu hak
itu bertentangan dengan prinsip keadilan. Kemerdekaan dan keadilan merupakan dua
nilai yang saling menopang. Sebab harga diri manusia terletak pada adanya hak
bagi orang lain untuk mengembangkan kepribadiannya, sebagai kawan hidup dengan
tingkat yang sama. Anggota-anggota masyarakat harus saling menolong dalam
membentuk masyarakat yang bahagia (al-Maidah [5]: 5).
Sejarah
dan perkembangannya bukanlah suatu yang tidak mungkin dirubah. Hubungan yang benar
antara manusia dengan sejarah bukanlah penyerahan pasif, tetapi sejarah ditentukan oleh
manusia sendiri. Tanpa pengertian ini adanya azab Tuhan (akibat buruk) dan
pahala (akibat baik) bagi satu amal perbuatan mustahil ditanggung manusia
(al-Zalzalah [99]: 7-8).
Manusia
merasakan akibat amal perbuatannya sesuai dengan ikhtiar. Dalam hidup ini (dalam sejarah)
dan dalam hidup kemudian (sesudah sejarah) (al-Taubah [9]: 74 dan al-Nahl[16] : 30). Semakin seseorang
bersungguh-sungguh dalam kekuatan yang bertanggung jawab dengan kesadaran yang
terus menerus akan tujuan dalam membentuk masyarakat semakin ia mendekati
tujuan (al-Ankabut [29]: 69). Manusia mengenali dirinya sebagai makhluk yang nilai dan martabatnya
dapat sepenuhnya dinyatakan. Jika ia mempunyai kemerdekaan tidak saja untuk
mengatur hidupnya sendiri tetapi juga untuk memperbaiki hubungan dengan sesama manusia dalam
lingkungan masyarakat. Dasar hidup gotong royong ini ialah kesetiakawanan dan
kecintaan sesama manusia dalam pengakuan akan adanya persamaan dan kehormatan
bagi setiap orang (al-Hujurat [49]:13 dan 10).
VI. Keadilan Sosial dan Keadilan Ekonomi
Telah
kita bicarakan tentang hubungan antara individu dan masyarakat dimana
kemerdekaan dan pembatasan kemerdekaan saling bergantung, dan dimana perbaikan
kondisi masyarakat tergantung pada perencanaan manusia dan usaha-usaha
bersamanya. Jika kemerdekan dicirikan dalam bentuk yang tidak bersyarat
(kemerdekaan tak terbatas), maka sudah terang bahwa setiap orang diperbolehkan
mengejar dengan bebas segala keinginan pribadinya. Akibatnya pertarungan
keinginan yang bermacam-macam itu satu sama lain dalamkekacauan atau anarchi (al-Lail [96]: 8-10). Sudah barang tentu hal itu
menghancurkan masyarakat dan meniadakan kemanusiaan sebab itu harus ditegakkan
keadilan dalam masyarakat (al-Maidah [5]:8).
Siapakah yang harus menegakkan keadilan dalam
masyarakat, sudah barang pasti adalah masyarakat sendiri, tetapi dalam
prakteknya diperlukan adanya satu kelompok dalam masyarakat yang karena
kualitas-kualitas yang dimilikinya senantiasa mengadakan usaha-usaha menegakkan
keadilan itu dengan jalan selalu menganjurkan sesuatu yang bersifat kemanusiaan
serta mencegah terjadinya sesuatu yang berlawanan dengan kemanusiaan (Ali Imran
[3]: 104).
Kualitas
terpenting yang harus dipunyai ialah rasa kemanusiaan yang
tinggi, sebagai pancaran dari kecintaannya yang terbatas kepada Tuhan.
Disamping itu diperlukan kecakapan yang cukup. Kelompok orang-orang itu adalah
pimpinan masyarakat; atau setida-tidaknya mereka adalah orang-orang yang
seharusnya memimpin masyarakat. Memimpin adalah menegakkan keadilan, menjaga agar setiap orang memperoleh hak asasinya, dan dalam jangkawaktu yang sama menghormati
kemerdekaan orang lain dan martabat kemanusiaannya sebagai manifestasi
kesadarannya akan tanggung jawab sosial.
Negara adalah bentuk masyarakat yang terpenting, dan pemerintah adalah susunan
masyarakat yang terkuat dan berpengaruh. Oleh sebab itu pemerintah yang pertama
berkewajiban menegakkan keadilan. Maksud semula dan fundamental dari
didirikannya negara dan pemerintahan ialah guna melindungi manusia yang menjadi
warga negara dari kemungkinan perusakan terhadap kemerdekaan dan harga
diri sebagai manusia, sebaliknya setiap orang harus mengambil bagian pertanggungjawaban dalam masalah-masalah
negara atas persamaan yang diperoleh melalui demokrasi.
Pada dasarnya masyarakat dengan masing-masing pribadi yang ada di dalamnya
haruslah memerintah dan memimpin diri sendiri (Hadis: “kullukum
raa’in wa kullukum mas’uulun ‘an raiyyatih”,Bukhari-Muslim). Oleh karena itu pemerintah
haruslah merupakan kekuatan pimpinan yang lahir dari kekuatan masyarakat
sendiri. Pemerintah haruslah demokratis, berasal dari rakyat, oleh rakyat dan
untuk rakyat, menjalankan kebijaksanaannya atas persetujuan rakyat berdasarkan musyawarah dan dimana rasa
keadilan dan martabat kemanusiaan tidak terganggu (al-Syura [42]: 38, 42). Kekuatan yang sebenarnya didalam negara ada di tangan
rakyat, dan pemerintah harus bertanggung jawab pada rakyat.
Menegakkan keadilan mencakup penguasaan atas keinginan-keinginan dan
kepentingan-kepentingan pribadi yang tak mengenal batas (hawa nafsu). Adalah
kewajiban dari negara sendiri dan kekuatan-kekuatan sosial untuk menjunjung
tinggi prinsip kegotong-royongan dan kecintaan sesama manusia. Menegakkan keadilan adalah amanat rakyat kepada
pemerintah yang mesti dilaksanakan (al-Nisa [4]: 59). Ketaatan rakyat
pada pemerintah yang adil merupakan ketaatan kepada diri sendiri yang
wajib dilaksanakan. Didasarkan oleh sikap hidup yang benar, ketaatan kepeda pemirantah termasuk dalam lingkungan
ketaatan kepada Tuhan (Kebenaran Mutlak) (al-Nisa [4]: 58). Pemerintah yang benar dan harus ditaati ialah mengabdi kepada
kemanusiaan, kebenaran dan akhirnya kepada Tuhan Yang Maha Esa (al-Maidah [5]: 45).
Perwujudan
menegakkan keadilan yang terpenting dan berpengaruh ialah menegakkan keadilan
di bidang ekonomi atau pembagian kekayaan di antara anggota masyarakat.
Keadilan menuntut agar setiap orang dapat bagian yang wajar dari kekayaan atau
rezeki. Dalam masyarakat yang tidak mengenal batas-batas individual, sejarah
merupakan perkembangan dialektis yang berjalan tanpa kendali dari
pertentangan-pertentangan golongan yang didorong oleh ketidakserasian antara
pertumbuhan kekuatan produksi di satu pihak dan pengumpulan kekayaan oleh
golongan-golongan kecil dengan hak-hak istimewa di lain pihak (al-Hadid [57]: 20). Karena kemerdekaan tak
terbatas mendorong timbulnya jurang-jurang pemisah antara kekayaan dan
kemiskinan yang semakin dalam. Proses selanjutnya apabila –yaitu
bila sudah mencapai batas maksimal– pertentangan golongan
itu akan menghancurkan sendi-sendi tatanan sosial dan membinasakan kemanusiaan dan peradabannya (al-Isra [4]: 16).
Dalam
masyarakat yang tidak adil, kekayaan dan kemiskinan akan terjadi dalam kualitas
dan proporsi yang tidak wajar sekalipun realitas selalu menunjukan adanya
perbedaan-perbedaan antara manusia dalam kemampuan fisik maupun mental namun
kemiskinan dalam masyarakat dengan pemerintah yang tidak menegakkan keadilan
adalah keadilan yang merupakan perwujudan dari kezaliman. Orang-orang kaya
menjadi pelaku dari kezaliman sedangkan orang-orang miskin dijadikan sasaran
atau korbannya. Oleh karena itu sebagai yang menjadi sasaran
kezaliman, orang-orang miskin berada di pihak yang benar. Pertentangan antara
kaum miskin menjadi pertentangan antara kaum yang menjalankan kezaliman dengan
yang dizalimi. Dikarenakan kebenaran pasti menang terhadap kebatilan, maka
pertentang itu disudahi dengan kemenangan tak terhindar bagi kaum miskin,
kemudian mereka memegang tampuk pimpinan dalam masyarakat (al-Nisa
[4]: 160-161, al-Syu’ara [26]: 182-183, al-baqarah [2]: 279, al-Qashash [28]:
5).
Kejahatan di bidang ekonomi yang
menyeluruh adalah penindasan oleh kapitalisme. Dengan kepitalisme dengan
mudah seseoranmg dapat memeras
orang-orang yang berjuang mempertahankan hidupnya karena kemiskinan, kemudian
merampas hak-haknya secara tidak sah, berkat kemampuannya untuk memaksakan
persyaratan kerjanya dan hidup kepada mereka. Oleh karena menegakkan keadilan mencakup pemberantasan
kapitalisme dan segenap usaha akumulasi kekayaan pada sekelompok kecil
masyarakat (al-Baqarah [2]: 278-279). Sesudah syirik kejahatan
terbesar kepada kemanusiaan adalah penumpukan harta kekayaan beserta
penggunaanya yang tidak benar, menyimpang dari kepentingan umum, tidak mengikuti jalan
Tuhan (al-Humazah [104] : 1-3). Maka menegakan keadilan inilah membimbing manusia kearah pelaksanaan tata masyarakat yang
akan memberikan kepada setiap orang kesempatan yang sama untuk mengatur
hidupnya secara bebas dan terhormat (amar ma’ruf) dan pertentangan terus
menerus terhadap segala bentuk penindasan kepada manusia, kepada kebenaran
asasi dan rasa kemanusiaan (nahi mungkar). Dengan perkataan lain
harus diadakan restriksi-restriksi atau cara-cara memperoleh, mengumpulkan dan
menggunakan kekayaan itu. Cara yang tidak bertentangan dengan kemanusiaan
diperbolehkan (yang ma’ruf dihalalkan) sedangkan cara yang bertentangan dengan
kemanusiaan dilarang (yang mungkar diharamkan) (Ali Imran [3]: 110).
Pembagian
ekonomi secara tidak benar itu hanya ada dalam suatu masyarakat yang tidak
menjalankan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, dalam hal ini pengakuan
berketuhanan Yang Maha Esa tetapi tidak melaksanakannya, sama nilainya dengan
tidak berketuhanan sama sekali. Sebab nilai-nilai tidak dapat dikatakan hidup sebelum
menyatakan diri dalam amal perbuatan yang nyata (al-Shaf [61]: 2-3).
Dalam
suatu masyarakat yang tidak menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya tempat untuk
tunduk dan menyerahkn diri, manusia dapat diperbudaknya antara lain oleh harta
benda. Tidak lagi seorang pekerja menguasai hasil pekerjaannya, tetapi justru
dikuasai oleh hasil pekerjaan itu. Produksi seorang buruh memperbesar kapital majikan tetapi dari kapital ituselanjutnya
lebihmemperbudak buruh. Demikian pula terjadi pada majikan bukan ia menguasai
kapital tetapi kapital itulah yang menguasainya Kapital atau kekayaan telah menggenggam dan memberikan
sifat-sifat tertentu seperti keserakahan, ketamakan dan kemiskinan.
Oleh
karena itu menegakkan keadilan bukan saja dengan amar ma’ruf nahi mungkar
sebagaimana diterangkan dimuka, tetapi juga melalui pendidikan yang intensif terhadap
pribadi-pribadi agar tetap menyintai kebenaran dan menyadari secara mendalam
akan adanya Tuhan. Sembahyang merupakan pendidikan yang kontinu,
sebagai bentuk formil peringatan kepada Tuhan. Sembahyang yang benar akan lebih efektif dalam meluruskan dan
membetulkan garis hidup manusia. Sebagaimana ia mencegah kekejian dan
kemungkaran (al-Ankabut [29]:45). Jadi sembahyang merupakan penopang hidup yang
benar (Hadis: “Sembahyang adalah tiang agama,
barang siapa mengerjakannya berarti menegakkan aaSembahyang adalah tiang agama,
barang siapa mengerjakannya berarti menegakkan agama, barang siapa
meninggalkannya berarti merobohkan agama”.Bukhari). Sembahyang menyelesaikan masalah-masalah kehidupan,
termasuk pemenuhan kebutuhan yang ada secara intrinsik pada rohani manusia yang
mendalam, yaitu kebutuhan spiritual berupa pengabdian yang bersifat mutlak
(Lukman [31]: 30). Pengabdian yang tidak tersalurkan secara benar
kepada Tuhan Yang Maha Esa, tentu tersalurkan kearah sesuatu yang lain, dan membahayakan kemanusiaan. Dalam
hubungan itu telah terdahulu keterangan tentang syirik yang merupakan kejahatan
fundamental terhaap kemanusiaan.
Dalam
masyarakat, yang adil mungkin masih terdapat pembagian manusia menjadi golongan
kaya miskin. Tetapi hal itu terjadi dalam batas-batas kewajaran dan kemanusiaan
dengan pertautan kekayaan dan kemiskinan yang mendekat. Hal itu sejalan dengan
dibenarkannya pemilikan pribadi (privat ownership) atas harta kekayaan dan
adanya perbedaan-perbedaan tak terhindarkan dari kemampuan-kemampuan pribadi,
fisik maupun mental (al-Rum[30]: 37).
Walaupun
demikian usaha-usaha kearah perbaikan dalam pembagian rejeki ke arah yang merata
tetap harus dijalankan oleh masyarakat. Dalam hal ini zakat adalah penyelesaian
terakhir masalah perbedaan kaya dan miskin itu. Zakat dikenakan hanya atas
harta yang diperoleh secara benar, sah dan halal saja. Sedang harta kekayaan yang haram tidak dikenakan
zakat tetapi harus dijadikan milik umum guna manfaat bagi rakyat
dengan jalan penyitaan oleh pemerintah. Oleh karena itu, sebelum penarikan zakat dilakukan
terlebih dahulu harus dibentuk suatu masyarakat yang adil berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa, dimana tidak lagi didapati cara memperoleh kekayaan secara
haram, dimana penindasan atas manusia oleh manusia dihapuskan (al-Baqarah[2]: 188).
Sebagaimana
ada ketetapan tentang bagaimana harta kekayaan itu diperoleh, juga ditetapkan
bagaimana mempergunakan harta kekayaan itu. Pemilikan pribadi dibenarkan hanya
jika digunakan hak itu tidak bertentangan pemilikan pribadi menjadi
batal dan pemerintah berhak mengajukan konsfikasi penggunaan
dalam masyarakat (al-Furqan [25]: 67). Seseorang dibenarkan mempergunakan harta kekayaan dalam batas-batas
tertentu, yaitu dalam batas tidak kurang tetapi juga tidak melebihi rata-rata penggunaan
yang berlebihan (tabzier atau israf)bertentangan dengan prikemanusiaan (al-Isra [17]: 26-27). Kewenangan
selalu menjadi provokasi terhadap pertentangan golongan dan masyarakat membuat
akibat destruktif (al-Isra’ [17]: 16) Sebaliknya penggunaan kurang dari rata-rata masyarakat
(taqti) merusakan diri sendiri dalam masyarakat disebabkan membekunya sebagian dari kekayaan
umum yang dapat digunakan untuk manfaat bersama (Muhammad [47]: 38).
Hal itu
semuanya merupakan kebenaran karena pada hakekatnya seluruh harta kekayaan ini
adalah milik Tuhan (Yunus [10]: 55). Manusia seluruhnya diberi hak yang sama atas
kekayaan itu dan harus diberi hak yang sama atas
kekayaanitu dan harus diberikan bagian yang wajar daripadanya (al-‘Araf [7]: 10).
Pemilikan
oleh seseorang (secara benar) hanya bersifat relatif sebagaimana
amanat dari Tuhan. Penggunaan harta itu sendiri harus sejalan dengan yang
dikehendaki Tuhan, untuk kepentingan umum (al-Hadid [57]: 7,
al-Nur [24]: 33). Maka
kalau terjadi kemiskinan, orang-orang miskin diberi hak atas sebagian harta orang-orang kaya,
terutama yang masih dekat dalam hubungan keluarga (al-Ma’arij
[70]: 24-25). Adalah kewajiban negara dan
masyarakat untuk melindungi kehidupan keluarga dan memberinya bantuan dan
dorongan. Negara yang adil menciptakan persyaratan hidup yang wajar sebagaimana
diperlukan oleh pribadi-pribadi agar dia dan keluarganya dapat mengatur
hidupnya secara terhormat sesuai dengan keinginan-keinginannya untuk dapat
menerima tanggung jawab atas kegiatan-kegiatannya. Dalam prakteknya, hal itu berarti bahwa
pemerintah harus membuka jalan yang mudah dan kesempatan yang sama kearah
pendidikan kecakapan yang wajar, kemerdekaan beribadah sepenuhnya dan pembagian
kekayaan bangsa yang pantas.
VII. Kemanusiaan dan Ilmu Pengetahuan
Dari
seluruh uraian yang telah dikemukakan, dapatlah dikumpulkan dengan pasti bahwa
inti dari kemanusiaan yang suci ialah iman dan kerja kemanusiaan atau amal saleh
(al-Tien[95]:6).
Iman
dalam pengertian kepercayaan akan adanya kebenaran mutlak yaitu Tuhan Yang Maha
Esa, serta menjadikan satu-satunya tujuan hidup dan tempat pengabdian diri yang
terakhir dan mutlak. Sikap itu menimbulkan kecintaan tak terbatas pada
kebenaran, kesucian dan kebaikan yang menyatakan dirinya dalam sikap
prikemanusiaan. Sikap prikemanusiaan menghasilkan amal saleh, artinya amal yang
berkesesuaian dengan dan meningkatkan kemanusiaan. Sebaik-baiknya manusia ialah
yang berguna untuk sesamanya. Tetapi bagaimana hal itu harus dilakukan oleh
manusia ?
Sebagaimana
setiap perjalanan kearah suatu tujuan ialah gerak ke depan demikian pulaperjalanan umat manusia atau
sejarah adalah gerak maju ke depan. Maka semua nilai dalam kehidupan relatif adanya
berlaku untuk suatu tempat dan suatu waktu tertentu. Demikianlahsegala sesuatu berubah, kecuali
tujuan akhir dari segala yang ada, yaitu kebenaran mutlak (Tuhan) (al-Qashash [28] :8 8). Jadi semua nilai
yang benar adalah bersumber atau dijabarkan dari ketentuan-ketentuan hkum-hukum
Tuhan (al-An’am [6]: 57). Oleh karena itu manusia berikhtiar dan medereka ialah yang bergerak.
Gerak itu tidak lain dari gerak maju ke depan (progresif). Dia adalah dinamis,
tidak statis. Dia bukanlah seorang tradisionalis, apalagi reaksioner (al-Isra’ [17]:36). Dia menghendaki
perobahan terus-menerus sejalan dengan arah menuju kebenaran mutlak. Dia
senantiasa mencari kebenaran-kebenaran selama perjalananhidupnya. Kebenaran-kebenaran
itu menyatakan dirinya dan ditemukan di dalam alam dari sejarah umat manusia.
Ilmu
pengetahuan adalah alat manusia untuk mencari dan menemukan kebenaran-kebenran
dalam hidupnya, sekalipun relatif, namun kebenaran-kebenaran merupakan tonggak
sajarah yang mesti dilalui oleh umat manusia dalam perjalanan sejarah menuju
kebenaran mutlak. Dan keyakinan adalah kebenaran mutlak itu sendiri pada suatu
saat dapat dicapai oleh manusia, yaitu ketika mereka telah memahami benar
seluruh alam dan sejarahnya sendiri (Fushilat [41]: 53).
Jadi ilmu
pengetahuan adalah persyaratan dari amal soleh. Hanya mereka yang dibimbing
oleh ilmu pengetahuan apat berjalan di atas kebenaran-kebenaran, yang
menyampaikannya kepada kepatuhan yang tanpa reserve kepada Tuhan Yang Maha Eesa(Fathir [35]: 28). Dengan iman dan
kebenaran ilmu pengetahuan manusia mencapai puncak kemanusiaan yang tertinggi
(Mudjadalah [58]: 11).
Ilmu pengetahuan ialah pengetian yang dipunyai oleh manusia secara benar
tentang dunia sekitarnya dan dirinya sendiri. Hubungan yang benar antara
manusia dan alam sekelilingnya ialah hubungan dan pengarahan. Manusia harus
menguasai alam dan masyarakat guna dapat mengarahkannya kepada yang lebih baik.
Penguasaan dan kemudian pengarahan itu tidak mungkin dilaksanakan tanpa
pengetahuan tentang hukum-hukumnya yang agar dapat menguasai dan menggunakannya
bagi kemanusiaan. Sebab alam tersedia bagi umat manusia bagi kepentingan
pertumbuhan kemanusiaan. Hal itu tidak dapat dilakukan kecuali mengerahkan
kamampuan intelektualitas atau ratio (al-Jasiyah [45]: 13).
Demikian pula manusia harus
memahami sejarah dengan hukum-hukum yang tetap (Ali Imran [3]: 137). Hukum sejarah yang
tetap (sunnatullah untuk sejarah) yaitu garis besarnya ialah bahwa
manusia akan menemui kejayaan jika setia kepada kamanusiaan fitrinya dan menemui kehancuran
jika menyimpang darinya dengan menuruti hawa nafsu (al-Syam [91]: 9-10).
Tetapi cara-cara perbaikan hidup hingga terus-menerus maju ke arah yang
lebih baik sesuai dengan fitrah adalah masalah pengalaman. Pengalaman ini harus
ditarik dari masa lampau, untuk dapat mengerti masa sekarang dan
memperhitungkan masa yang akan datang (Yusuf [12]: 111). Menguasai dan
mengarahkan masyarakat ialah mengganti kaidah-kaidah umumnya dan membimbingnya
ke arah kamajuan dan kebaikan.
VIII. Kesimpulan dan Penutup
Dari seluruh uraian yang telah lalu dapatlah diambil kesimpulan secara
garis besar sebagai berikut:
a.
Hidup yang benar dimulai dengan percaya atau iman kepada Tuhan. Tuhan Yang Maha Esadan keinginan mendekat serta kecintaan
kepada-Nya yaitu taqwa. Iman dan taqwa bukanlah nilai yang statis dan abstrak.
Nilai-nilai itu memancar dengan sendirinya dalam bentuk kerja nyata bagi
kemanusiaan dan amal soleh. Iman tidak memberi arti apa-apa bagi manusia jika
tidak disertai dengan usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan yang sungguh-sungguh
untuk menegakkan perikehidupan yang benar dalam berperadaban dan berbudaya.
b.
Iman dan taqwa dipelihara dan diperkuat dengan melakukan ibadah atau pengabdian formil
kepada Tuhan. Ibadah mendidik individu agar tetap ingat dan taat kepada Tuhan dan
berpegang teguh kepada kebenaran sebagaimana yang dikehendaki oleh hati nurani
yang hanief. Segala sesuatu yang menyangkut bentuk dan cara ibadah menjadi wewenang penuhdari agama tanpa adanya hak manusia
untuk mencampurinya. Ibadah yang terus menerus kepada Tuhan menyadarkan manusia akan
kedudukannya ditengah alam dan masyarakar sesamanya. Ia tidak melebihkan diri sehingga mengarah kepada kedudukan Tuhan dengan
merugikan kamanusiaan orang lain, dan tidak mengurangi kehormatan dirinya
sebagai makhluk tertinggi dengan akibat perbudakan diri kepada alam
maupun orang lain. Dengan ibadah manusia dididik untuk
memiliki kemerdekaannya, kemanusiaannya dan dirinya sendiri, sebab ia telah berbuat ikhlas, yaitu pemurnian pengabdian kepada Kebenaran semata.
c.
Kerja kemanusiaan atau amal saleh mengambil bentuknya yang
utama dalam usaha yang sungguh-sungguh secara essesial menyangkut kepentingan
manusia secara keseluruhan, baik dalam ukuran ruang maupun waktu. Yaitu menegakkan keadilan
dalam masyarakat sehingga setiap orang memperoleh harga diri dan martabatnya
sebagai manusia. Hal itu berarti usaha-usaha yang terus menerus harus dilakukan
guna mengarahkan masyarakat kepada nilai-nilai yang baik, lebih maju dan lebih
insani usah itu ialah “amar ma’ruf”, di samping usaha lain untuk
mencegah segala bentuk kejahatan dan kemerosotan nilai-nilai kemanusiaan atau
“nahi munkar”. Selanjutnya bentuk kerja kemanusiaan yang lebih nyata ialah
pembelaan kaum lemah, kaum tertindas dan kaum miskin pada umumnya serta
usaha-usaha kearah peningkatan nasib dan taraf hidup mereka yang wajar dan
layak sebagai manusia.
d.
Kesadaran dan rasa tanggung jawab yang besar kepada kemanusiaan melahirkan
“jihad”,yaitu sikap hidup berjuang. Berjuang itu dilakukan dan
ditanggung bersama oleh manusia dalam bentuk gotong royong atas dasar
kemanusiaan, dan kecintaan kepada Tuhan. Perjuangan menegakan kebenaran dan
keadilan menuntut ketabahan, kesabaran dan pengorbanan. Dan dengan jalan itulah
kebahagiaan dapat diwujudkan dalam masyarakat manusia. Oleh sebab itu
persyaratan bagi berhasilnya perjuangan adalah adanya barisan yang merupakan bangunan
yang kokoh dan kuat. Mereka terikat satu sama lain oleh persaudaraan dan
solidaritas yang tinggi, dan oleh sikap tegas kepada musuh-musuh darikemanusiaan. Tetapi justru
demi kemanusiaan mereka adalah manusia yang toleran. Sekalipun mengikuti jalan yang
benar, mereka tidak memaksakan kepada orang lain atau golongan lain.
e.
Kerja kemanusiaan atau amal saleh itu merupakan proses
perkembangan yang permanen. Perjuangan kemanusiaan berusaha mengarah kepada
yang lebih baik, lebih benar. Oleh sebab itu manusia harus mengetahui arah yang
benar dari perkembangan peradaban disegala bidang. Dengan perkataan lain, manusia
harus mendalami dan selalu mempergunakan ilmu pengetahuan. Kerja manusia dan
kerja kemanusiaan tanpa ilmu tidak akan mencapai tujuannya, sebaliknya ilmu
tanpa rasa kemanusiaan tidak akan membawa kebahagiaan bahkan menghancurkan
peradaban. Ilmu pengetahuan adalah karunia Tuhan yang besar artinya bagi
manusia. Mendalami ilmu pengetahuan harus didasari dengan sikap terbuka. Mampu
mengungkapkan perkembangan pemikiran tentang kehidupan berperadaban dan
berbudaya. Kemudian mengambil dan mengamalkan di antaranya yang baik.
f.
Dengan demikian tugas hidup manusia menjadi sangat sederhana, yaitu :
“beriman, berilmu, dan beramal”.
Rujukan NDP
Dar-dasar kepercayaan
AnNahl ayat 80, Al-Ikhlas, Alhadid ayat 3-4, Albaqarah ayat 113, Al-An’am
ayat 73, Al-Furqan ayat 2, Al-Mu’minun ayat 14, Luqman 20, Yunus ayat 101, Shad
ayat 27, At-Tin ayat 4, Al-Isra ayat 70, Al-An’am ayat 165, Hud ayat 61,
Al-Ahzab ayat 72, Al-‘Ankabut ayat 20, Al-Qashash ayat 88, Al-Isra’ ayat 36,
Al-Mujadalah ayat 11, As-Sajadah ayat 37, Al-Fatihah ayat 4, Al-Hajj ayat 56,
Al-Muknin ayat 16, Al-Baqarah ayat48, Al-‘Araf 187.
Pengertiandasr tentang kemanusiaan
Ar-Ruum ayat 30, Adz-Dzariyah ayat 56, Ali Imran ayat 134 dan
ayat 156, At-Taubah ayat105, An-najm ayat 39, As-Shof ayat2-3, An-Nahl ayat 97,
An-Nisa ayat 111 dan ayat 125, Al-Ankabut ayat 6, Az-Zumar ayat
18, Al-baqarah ayat 207, 264, dan ayat 269, Al-An’am ayat 125,
Al-Bayyinah ayat 5, Al-Insan ayat 8-9, Fathir ayat 10.
Kemerdekaan Manusia (Ikhtiar)
dan Keharusan Universal (Takdir)
Al-Anfaal ayat 25, Al-Baqarah ayat 48, Luqman ayat 33, Al-Hadid ayat 22-23,
Ar-Raad ayat 11.
Ketuhanan YME dan
Prikemanusiaan
Luqman ayat 13 dan ayat 30, Ali Imran ayat 19-21 dan ayat 64,
Al-Ahzab ayat 39, Asy-Syu’araa ayat 226, An-Nuur ayat 39, At-Taubah ayat 109,
Al-Qashash ayat 4, An-Nahl ayat 90.
Individu dan Masyarakat
Az-Zukhruf ayat 32, Al-Maidah ayat 2 dan ayat 48, Al-Lail ayat
4, Al-Isra’ ayat 84, Az-Zumar 39, Yusuf ayat 53, Ar-Ruum 29, Al-Zalzalah ayat
7-8, At-Taubah ayat 74, An-Nahl ayat 30, Asy-Syu’araa ayat 69, Al-Hujarat ayat
13 dan ayat 10.
Keadilan Sosial dan Ekonomi
Al-lail ayat 8-10, Al-Maidah ayat 8 dan ayat 45, Ali-Imroon ayat 104 dan
ayat110, Asy-Syuraa ayat 38 dan ayat 42, An-Nisa ayat 58-59, Al-Hadiid ayat
7 dan ayat 20, Al-Isra’ ayat 16, An-Nisa’ ayat 160-161, Asy-Syu’araa
ayat 182-183, Al-Baqarah ayat 279, Al-Humazah ayat 1-3, Ash-Shaf ayat 2-3,
Al-Ankabut ayat 45, Luqman ayat 30, Ar-Ruum ayat 37, At-Taubah ayat 60,
Al-Baqarah ayat 188, Al-Furqaan ayat 67, Al-Isra’ ayat 16, Muhammad ayat 38,
Yunus ayat 55, Al-A’raaf ayat 10, An-Nuur ayat 33, Al-Ma’aarij ayat 24-25.
Kemanusiaan dan Ilmu Pengetahuan
At-Tiin ayat 6, Al-Qashash ayat 88, Al-An’am ayat 57, Al-Isra’ ayat 36,
As-Sajadah ayat 53, Fathir 28, Ali-Imran ayat 18 dan ayat 137, Al-Mujadalah
ayat 11, Al-Jatsiyah ayat 13, Asy-Syams 9-10, Yusuf ayat 111.
Komentar
Posting Komentar