Oleh Sulaeman (Ketua Umum Komisariat Nurcholish Madjid Periode 2014/2015)
Bersyukurlah kepada Tuhan bagi orang-orang kampung dengan Ibu "tradisional"nya. Kalian masih bisa merasakan lembutnya kasih sayang nyata meskipun tak berbalut harta. Kalian masih merasakan bimbingan psikologis dari sang Ibu lewat senyum hangatnya. Meskipun Ibu kalian tak pandai beretorika, dan tak terkenal di media namun Ibu kalian tetap konsisten memegang amanah Tuhan sebagai "Madrosarul Ula".
Meskipun sebagian dari mereka bersikap Infintil terhadap kalian, itu lebih baik daripada Ibu yang bersikap sebagai seorang Naturalis dalam membimbing anak-anaknya. Mereka Ibu-ibu "Tradisional" lebih berani memberikan ASI daripada susu formula dari sapi karena terlena dalam gemerlap eksistensi. Sekali lagi Ibu "Tradisional" lebih bijak memilih menghangatkanmu dalam pelukannya dan tidak menyerahkan tugasnya pada "Ibu palsu" sebagai penggantinya hanya karena pemenuhan kepuasan di ruang pablik yang terlalu kebablasan.
Aku bukan bermaksud menuliskan kata-kata pedas untuk mereka para "Ibu Moderen" karena bagaimanapun juga mereka adalah tetap seorang yang namanya tiga kali disebutkan oleh salah satu Nabi dengan maksud memberi apresiasi mendalam karena eksistensinya. Aku hanya berusaha me-rethinking apa yang menjadi kegusaran dalam benakku tentang konsep seorang Ibu.
Meskipun seorang anak telah mendapatkan pengetahuan akan persaksian Tuhan dan beberapa ketentuan ketika empat bulan dalam kandungan dalam salah satu literatur agama, tapi seorang anak ketika lahir tetaplah seperti kertas putih seperti kata kaum behavioris yang seharusnya mendapatkan bantuan basyariyyah, selain itu anak dalam keadaan itu amat membutuhkan sentuhan psikologis dari orang tuanya. Barulah setelah cukup matang secara biologis dalam perkembangannya nilai-nilai intelektual kemudian di internalisasikan.
Aku coba mengajak pembaca kata melihat potret Ibu kekinian korban isue gender yang kebablasan. Betapa kebebasan berfikir dan kebebasan berpendapat seakan jadi jargon andalan untuk melumrahkan eksistensi perempuan masa kini. Pengkotakan ruang domestik dan pablik menjadi tameng ketika di kritik, tokoh-tokoh pembela wanita ramai di elu-elukan layaknya Nabi bagi kaum hawa. Gerakan ini juga ditopang oleh tingginya eksistensi kaum pekerja hawa. Dengan jargon yang menggugah jiwa, para hawa kini tak ada pantangan berkiprah di kancah lokal, nasional dan internasional. Aku bukan tak setuju akan hal ini boleh jadi ini gambaran dari lemahnya kaum adam sebagai "lelaki".
Ruang pablik memang dalam konsepnya tidak melenyapkan fitrah perempuan seperti melahirkan dan menyusui, itu benar.

Komentar
Posting Komentar