Oleh Sulaeman (Ketua Umum Komisariat Nurcholish Madjid Periode 2014/2015)
Kita hidup dalam dalam persepsi
pemangku zaman yang lumayan “Edan”. Tindakan apa saja yang kita lakukan
dibayangi kecurigaan, hidup seperti ini mempbuat dunia serasa bukan tempat yang
nyaman. Teknologi Informasi memang membuat kita melek akan dunia, kita bisa
melihat gambar manusia di Ethiophia memungut butiran beras tanpa alas kaki,
melihat jutaann buruh tumpah ruah berdemonstrasi, bahkan suguhan senyum para
pemangku Negeri di sela-sela coffee break berongkang-ongkang kaki.
Ribuan komentar pengguna tweeter
berkicau di “Dunia Ketiga” sebutanku untuk media sosial. Ucapan kebahagiaan
hingga hujatan ada di dalamnya. Bising aku dibuatnya, ditambah lagi media yang
semenjak dari awal aku kenal tak pernah menyuguhkan tontonan yang begitu layak
dicerna bangsa manusia. Media menyebarkan virus-virus kedengkian yang makin
akut yang menjalar ke setiap hati dan otak manusia.
Hampir tak bisa kubedakan mana
kebenaran yang hakiki dan subtansial dengan kebenaran “Modus” pengumbar citra
para dan kaum murba yang ingin eksis. Semuanya semu belum lagi degradasi sosial
moral yang timbul dalam mindset anak-anak bangsa. Tak ku dapatkan senyum ramah
para tetangga di deretan komplek di perkotaan, norma-norma luhur bangsa
layaknya cerita pengantar tidur atau komik-komik biasa yang murah dan murah
dengan kertas tipisnya.
Karakter manusia digiring menjadi
cabul, dengan lumrahnya tontonan dan foto-foto kerbau cantik di internet. Ngilu
aku membayangkannya. Karakter terbentuk bukan secara instan, ia berawal dari
perilaku yang tentu saja bersumber dari pikiran, perilaku yang terus terulang
akan menimbulkan kebiasaan, dan kebiasaan ini akan membeku dalam wujud yang
kita kenal bernama karakter.
KITA HIDUP DI ZAMAN DIMANA
BERBUAT BAIK DI ANGGAP MODUS DAN DIAM DI INTAI OLEH PASUKAN HITAM DELAPAN
DELAPAN. Aku mulai apatis memberi pengertian pada masyarakat dunia tentang
kebaikan yang seutuhnya. Semuanya terserap hambar oleh persepsi hitam dan
kecurigaan. Mungkin ada benarnya kata “Ahmad Wahib”, kita akan beraada dalam
masa yang penuh ketidaknyamanan, dimana tak perlu berkomunikasi lewat lisan,
karena komunikasi yang dibutuhkan adalah pengetahhuan. Begitulah juga kita
berinteraksi dengan manusia, tak perlu ada aturan yang ribet, tak perlu pula
peringatan, karena hak-hak individu maupun sosial terpapar jelas dan terinci di
benak manusia-manusia berpengetahuan.

Komentar
Posting Komentar